Senin, Oktober 10, 2011

Mau Tau Alasan Mengapa Kamu Masih Single



Sebenarnya Ada 2 alasan umum mengapa seseorang itu tetap single di dalam hidupnya: karena pilihan sendiri atau karena kesalahan-kesalahan yang disadari maupun yang tidak. Alasan pertama tentu tidak ada masalah sama sekali karena kamu berkomitmen untuk tidak memiliki pasangan (entah karena tidak mau terburu-buru atau memang memilih untuk single selamanya) dan tidak mempermasalahkan itu.

Namun, jika kamu sangat berharap namun tidak pernah mendapatkannya dan itu membuatmu depresi, mungkin saja kamu harus merefleksikan dirimu. Berikut ini adalah 10 alasan mengapa kamu masih single:


1. Mengutamakan karir
Kita semua setuju bahwa karir merupakan salah satu hal terpenting dalam hidup. Sah-sah saja mengejar karir yang baik untuk masa depan. Tapi kamu harus ingat bahwa hidup bukan semata-mata mengejar karir yang lebih baik.

Jika kamu bermimpi memiliki sebuah keluarga yang bahagia tentu kamu harus menyediakan waktu untuk mencari pasangan hidup. Meskipun kamu bekerja di lingkungan yang membuatmu banyak berinteraksi dengan orang lain, tetapi jika kamu tidak pernah membuka mata dan hati maka itu akan menghalangi kamu untuk mendapatkan orang yang kamu cintai dan mencintai kamu

2. Pengalaman masa lalu yang pahit

Trauma masa lalu juga bisa menghalangi seseorang untuk mendapatkan pasangan hidup. Perasaan takut disakiti atau takut hubungan kembali gagal menimbulkan efek traumatis yang kadang sulit disembuhkan. Kuncinya adalah kamu harus terus move on karena kebahagiaanmu tidak berada dalam orang-orang tertentu, kebahagiaan ada dalam dirimu sendiri.


3. Hidup di lingkaran sosial yang kecil

Pergaulan yang sempit tentu akan mengurangi peluangmu mendapatkan pasangan hidup karena kamu hanya bertemu dengan sedikit orang. Orang yang banyak berinteraksi dengan orang lain dan orang yang terus menerus di depan komputer tentu memiliki peluang yang jauh berbeda. Tentu saja ini masuk akal karena komunikasi adalah awal dari sebuah hubungan, tanpa komunikasi tidak akan terbentuk hubungan yang baik. Perbesarlah lingkaran sosialmu namun tetap selektif.



4. Tidak menjaga penampilan

Penampilan yang berantakan, berat badan yang berlebih, atau bau badan yang tidak sedap tentu tidak menarik perhatian orang lain. Memang, kita tidak bisa menilai seseorang sepenuhnya dari penampilan fisiknya saja, tetapi realistislah, kita pasti menilai orang pertama kali dari apa yang kita lihat, kan?

Meskipun cover buku belum tentu menunjukkan kualitas isinya, tetapi cover buku yang bagus akan menarik perhatian dan meningkatkan penjualan. Tampil menarik tidak harus memiliki wajah cantik. Kebersihan, kerapian, dan kesehatan fisik juga sangat berpengaruh.


5. Takut untuk memulai

Belum memiliki pengalaman sebelumnya mungkin cukup menghambat kamu untuk melangkah. Takut salah atau takut ditolak merupakan hal umum yang terjadi. Memulai sesuatu yang baru tidaklah mudah, namun jika kamu tidak mencoba, kamu tidak akan pernah tahu apakah ia adalah jodohmu atau bukan.

6. Ingin Bebas

Beberapa orang berpikir bahwa memiliki kekasih membuat mereka tidak bisa bebas melakukan kegiatan-kegiatan yang mereka inginkan. Keharusan membagi waktu, tenaga, pikiran, atau uang membuat mereka menganggap itu mengganggu, merepotkan, atau membuat mereka tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaan.

Untuk beberapa saat, anggapan seperti ini bisa dibenarkan entah karena tidak ada waktu untuk membina hubungan atau finansial yang belum mumpuni. Namun dalam jangka waktu yang lama, anggapan seperti ini akan menghambat kamu untuk mendapatkan pasangan hidup. Pengecualian jika kamu memang sudah berkomitmen dari awal tidak ingin menikah dan tidak mempermasalahkan itu.


7. Childish

Terlalu manja dan tidak bisa berpikir secara dewasa adalah faktor penghambat yang lain. Hubungan percintaan khususnya ketika sudah menginjak umur 20an membutuhkan pemikiran yang dewasa untuk dapat membina hubungan yang serius.


8. Terlalu Agresif

Terus menerus berdiam diri akan menghambatmu, begitu juga jika kamu terlalu agresif. Agresivitas yang berlebihan seringkali membuat orang lain takut terhadap dirimu atau berpikir kamu terlalu mudah.

9. Membosankan

Orang yang membosankan umumnya mengalami kendala dalam berkomunikasi dan aktivitas sehari-harinya yang datar-datar saja. Tidak ada cara lain selain kamu harus memperbanyak wawasan dan banyak beraktivitas positif. Akan ada banyak cerita yang bisa kamu ceritakan pada orang lain.

10. Hidup di Dunia Virtual

Zaman sekarang games dan internet sudah sangat berkembang pesat. Banyak sekali teknologi virtual reality yang dijual di pasaran. Di satu sisi perkembangan teknologi berdampak positif namun di sisi lain berdampak negatif jika berlebihan digunakan. Dunia virtual reality seperti online games sering membuat orang-orang terperangkap di dalamnya.

Tidak hanya anak-anak dan remaja, bahkan orang dewasapun sering terjebak dalam dunia ini. Jika kamu termasuk orang-orang seperti ini, sadarilah bahwa kamu memiliki hidup yang nyata yang harus kamu jalani dan kamu hanya punya satu kesempatan, tidak seperti virtual reality yang akan berakhir ketika kamu mengeklik ”Shut Down” dan bisa dimulai lagi ketika kamu memencet tombol ”Turn On” di komputermu.

Memang benar jodoh ada di tangan Tuhan, tetapi kamu juga harus berusaha dan berdoa, bisa merefleksikan dirimu dan mulai bertanya pada diri sendiri apakah kamu sudah berusaha yang terbaik namun belum berhasil atau karena kesalahan-kesalahan yang sudah kamu lakukan yang menghambat kamu mendapatkan jodoh. Itu adalah 10 alasan mengapa kamu masih single.

Minggu, Oktober 09, 2011

10 Karya Besar Steve Jobs Yang Sudah Merubah Dunia





Pendiri sekaligus mantan Chief Executive Officer Apple, Steve Jobs meninggal dunia pada Rabu (5/10) waktu Palo Alto, California. Kepergiannya mengundang pertanyaan tentang bagaimana masa depan Apple tanpa Jobs. Ia memang tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang teknik. Akan tetapi terdaftar sebagai penemu lebih dari 300 paten.

Presiden Barack Obama menyebutnya sebagai salah satu inovator terbesar yang dimiliki Amerika. Steve Jobs, mungkin tidak hanya sekadar inovator tapi juga seorang visioner. Banyak orang yang lebih suka menyebut ciptaan Jobs dengan karya, bukan produk. Mungkin karena ada rasa seni disana. Inilah setidaknya 10 karya terbaik Steve Jobs. Kita sebut saja ini warisan dari Jobs.




1. Apple II (1977)



Masih banyak mendapat sentuhan Steve Wozniak. Apple II dirilis tahun 1977, selang 12 bulan setelah komputer Apple pertama, Apple I diluncurkan. Salah satu komputer personal pertama yang sukses, Apple II dirancang sebagai produk massal untuk pasar ketimbang untuk insinyur. Tidak seperti Apple I, yang dibuat di garasi milik orang tua Jobs, Apple II menandai mulainya duo pendiri Apple, Jobs dan Wozniak bekerja. “Apple II ini membuat impian saya menjual paket komputer yang dikemas jadi terwujud,” katanya

Penjualan Apple II pada tahun 1979 menghasilkan US$ 79 juta. Beberapa peningkatan dilakukan dan lini produk ini terus berlangsung hingga 1993.

2. Macintosh (1984)



Lebih murah dan lebih cepat dari produk PC sebelumnya, Macintosh dirilis pada Januari 1984. Macintosh memiliki antarmuka grafis. Banyak orang kemudian tertarik dengan antarmuka grafis ini, yang berguna untuk kebutuhan desain. Sistem antarmuka grafis ini sebuah perkembangan revolusioner dalam dunia komputer personal. Macintosh diperkenalkan lewat sebuah iklan Super Bowl yang menghabiskan jutaan dolar ketika itu.

3. iMac (1998)



Tiga tahun setelah kembali ke Apple pada tahun 1998, Jobs mengajak dunia untuk “berpikir berbeda”. Ketika Jobs kembali ke Apple pada tahun 1996, perusahaan ini sedang terpuruk, pangsa pasar komputer personal merosot tajam. iMac adalah cara radikal untuk membalik keadaan itu. Orang menganggap iMac adalah varian radikal dari Macintosh yang diluncurkan 14 tahun yang lalu. iMac tidak menyediakan floppy drive. Karya Jobs ini membuka kemungkinan imajinasi bagi pemanfaatan internet.

4. iPod (2001)


Ini menjadi babak baru bagi Apple. Dari hanya sekadar perusahaan komputer, iPod menandai kemunculan Apple menjadi korporasi digital raksasa yang masuk ke pasar. Meski bukan pemutar musik digital pertama dengan hard drive, iPod menjadi perangkat musik yang mudah dibawa kemana-mana.

Diluncurkan tepat satu dekade yang lalu, iPod kemudian memicu revolusi dalam musik digital. iPod generasi pertama adalah sebuah pemutar MP3 yang memuat 1.000 lagu dengan kekuatan baterai 10 jam. “Mendengarkan musik menjadi tidak sama lagi,” kata Jobs saat peluncuran iPod Oktober 2001 silam. iPod selanjutnya membuka jalan untuk toko musik iTunes dan iPhone.

5. iPod Nano


Steve Jobs menghentikan produksi iPod mini pada September 2005 disaat pemutar musik ini sedang populer. Jobs mendesain dan memproduksi iPod dengan nano yang jauh lebih kecil. Apple kembali mengembangkan nano yang lebih kecil lagi pada September 2010 dengan berat 15 gram lebih ringan.

6. iTunes Music Store (2003)



Sebelum iTunes diluncurkan, tidak ada yang mampu meyakinkan para eksekutif label musik bahwa orang bisa membayar lagu secara online. Mereka mengkhawatirkan pembajakan.

Diluncurkan pada saat versi baru Macintosh baru, iTunes menyediakan semua program musik digital dalam satu toko.iTunes membawa sekaligus pemutar MP3, radio internet dan CD writing. Pekan ini Apple memberikan akses musik digital di setiap perangkatn nirkabel mereka. Ini adalah awal dari revolusi Apple Cloud. iTunes Store menjadi peritel musik terbesar di Amerika pada 2008

7. iPhone (2007)



Kurang dari lima tahun setelah iPod diluncurkan, Apple sudah menjadi nama besar dalam musik digital. Setelah berbulan-bulan diliputi rumor, pada Januari 2007, Apple meluncurkan produk yang kemudian dengan cepat menjadi produk pembunuh.

iPhone adalah sebuah ketakjuban, boleh jadi demikian. Reaksi orang lebih sering emosional saat melihat iPhone. “Cantik…Charm… Wow…!” begitulah reaksi publik. Ketakjuban itu masih terbawa hingga Apple merilis iPhone 4S Selasa lalu 4 October 2011.

iPhone membawa pengalaman telepon laiknya seperti komputer pribadi Macintosh. Ini adalah sebuah smartphone yang memudahkan. Lewat ponsel layar sentuh ini, Apple menjadi pembuat ponsel yang paling menguntungkan di dunia. iPhone kini menjadi pemuncak dalam pasar smartphone.


8. iPad (2010)



Diluncurkan pada 2011, kerap disebut dengan “iPhone besar” karena mempunyai layar 9.7 inci. iPad menciptakan kategori baru dalam pasar komputer. Perangkat ini memudahkan orang untuk menjelajah di internet. Teknologi layar sentuhnya memudahkan orang untuk bekerja, browsing dan sekaligus mencari hiburan. iPad membawa sensasi baru dalam membaca buku, koran dan majalah.

9. iOS App Store



Ini adalah tonggak lain bagi Apple. Sejak diluncurkan pada Juli 2008, App Store sudah mencapai 15 miliar unduhan dengan lebih dari 500.000 aplikasi. Perluasan App Store untuk komputer OS X, berpotensi mengantarkan era baru bagi pengembangan perangkat lunak.

10. Apple Stores



Apple membuka toko ritel pertama pada tanggal 19 Mei 2001, di Glendale, California. Pada Juli tahun ini, Apple telah membuka lebih dari 350 toko di seluruh dunia, dengan toko terbesar di Covent Garden London. Banyak yang menilai langkah Apple membuka toko ritel secara fisik adalah tindakan yang gila.





Beberapa karya lainnya:
Apple I (1976) , Lisa (1983) , NeXT computer (1989)



8 Rahasia Hidup Steve Jobs




VIVAnews - Steve Jobs meninggal di usia 56 tahun. Jobs menutup mata untuk selamanya setelah bertahun-tahun berjuang melawan penyakit kanker pankreas. Jobs meninggal dengan mewariskan sejumlah inovasi, yang ada di sejumlah produk Apple.

Jobs merupakan ikon era digital. Ia memulai ''kehidupan Silicon Valley' dengan mendirikan Apple bersama Steve Wozniak dari garasi rumahnya. Selama ini, pria berkacamata itu dikenal sebagai orang yang berhasil membangun Apple menjadi salah satu raksasa digital.

Tapi, tahukah Anda, ada sisi lain dari kehidupan Jobs yang mungkin belum Anda ketahui semuanya. Berikut sisi lain Jobs yang mungkin di antaranya bisa mengejutkan Anda seperti dikutip dari Hollyscoop:

1. Drop out sekolah. Seperti Mark Zuckerberg yang drop out dari sekolah dan membuat Facebook, Jobs juga putus sekolah. Jobs sempat kuliah di Reed College di Portland, Oregon tetapi drop out setelah enam bulan. Setahun kemudian ia mendirikan Apple.

2. Setelah putus sekolah, Jobs pergi ke India dan bereksperimen dengan obat kejiwaan LSD.

3. Steve Jobs seorang pengikut Budha. Dia sangat tertarik dan pernah berpikir untuk bergabung di sebuah biara dan menjadi seorang biarawan. Ia menikah dengan tradisi Budha oleh seorang biksu Zen yang juga guru spiritual pribadinya.

4. Ia mendirikan Pixar. Banyak orang tidak tahu bahwa pada 1986, Jobs membeli studio animasi, Pixar senilai US$5 juta dan memberikan tambahan dana US$5 juta untuk bereksperimen dengan animasi. Jobs juga menjadi salah satu orang yang bertanggung jawab untuk penjualan Pixar ke Disney hampir 20 tahun kemudian.

5. Jobs anak adopsi. Ia dilahirkan dari seorang ibu yang masih sekolah dan tidak menikah. Jobs kemudian diadopsi oleh pasangan Armenia, Paul dan Clara Hagopian. Pada 1990-an, ia memutuskan untuk melacak adiknya yang hilang dan akhirnya bertemu. Dan tidak mengejutkan, karena adiknya, Mona Simpson adalah seorang penulis sukses dan profesor di UCLA.

6. Jobs seorang playboy, sebelum ia menikahi istrinya, Laurene Powell pada 1991, ia sempat menjalin hubungan dengan beberapa artis Hollywood ternama pada saat itu. Sebut saja aktris Dianne Keaton dan Joan Baez. Dia juga memiliki anak dari seorang perempuan, Chrisann Brennan. Awalnya ia menolak anak tersebut. Namun, akhirnya ia mengakui sebagai ayah dari anak itu.

7. Jobs tidak makan daging. Dia sebenarnya adalah pescetarian, yang berarti mengonsumsi ikan, tapi tidak daging lain. Dia biasanya makan telur dan susu dan makanan vegetarian lainnya.

8. Dia pria super kaya. Jobs diperkirakan memiliki kekayaan sebesar US$8,3 miliar. Dia tercatat sebagai orang terkaya di urutan 39 versi Forbes untuk kategori Orang Terkaya di Amerika pada 2011. (art)

Kamis, Oktober 06, 2011

7 Poin Yang Bisa Kita Pelajari dari Kisah Hidup Steve Jobs




Untuk mengenang Steve Jobs dan memperkenalkan kepada dunia bahwa betapa hebatnya seorang Steve Jobs, saya ingin menuliskan biografi singkat Steve Jobs beserta 7 poin yang bisa kita pelajari dari kehidupan Steve Jobs selama hidupnya, 56 tahun.

Meski agak panjang, saya rasa artikel ini sudah sangat singkat untuk menceritakan kisah hebat pada diri Steve Jobs. Kisah yang mengubah dunia dan menginspirasi dunia teknologi.

Steve terlahir dengan nama Steve Paul Jobs. Lahir pada 25 Februari 1955 di San Fransisco, Amerika Serikat, Jobs kecil mendapatkan nama tersebut dari orang tua adopsinya Paul dan Clara jobs. Tak jelas kenapa Jobs diadopsi oleh kedua orang ini.

Orangtua biologis daripada Steve Jobs sebenarnya juga memiliki otak cemerlang. Sang ayah, Abdulfattah John Jandali adalah seorang profesor sains politik. Sedangkan ibunya, Joanne Simpson ialah seorang ahli terapi bicara.

Mulai mendirikan Apple
Jobs mulai bekerja pada 1974 di Atari dengan profesi teknisi. Atari adalah perusahaan yang mendesain circuit board. Pada 1976, Jobs mendirikan perusahaan bersama Steve Wozniak rekannya, perusahaan yang sekarang dikenal dengan logo apple berwarna putih, Apple. Dengan visi ingin mengubah dunia, Jobs memulai perjalanan karirnya.

Setelah mengeluarkan komputer pertama yang bernama Macintosh, Steve Jobs harus rela dipecat oleh CEO Apple saat itu yang bernama John Sculley. Ketegangan internal mengakibatkan keretakan hubungan kerja yang juga berimbas dengan menurunnya kinerja perusahaan. Jobs juga dianggap sebagai seorang pemarah, mudah berubah pikiran dan keras kepala.

Poin pertama, disini tampak jelas sekali bahwa Jobs berada di titik terendah dalam hidupnya, ditinggalkan rekannya dan harus keluar dari perusahaan yang dia impikan.

Bukan Steve Jobs namanya kalau ia menyerah dengan kondisi hidupnya. Jobs lantas mendirikan perusahaan baru bernama NeXT Computer. Produk yang dihasilkannya di NeXT dianggap gagal dan mahal. Penderitaan Steve Jobs masih belum berakhir.
Meski gagal, poin kedua ini membuat perjalanan karir Steve menjadi lebih baik di masa depan.

Poin ketiga: Jobs yang mengakuisisi Pixar di tahun 1986, sebuah studio film animasi kecil, mulai beranjak sukses di tahun berikutnya. Sukses Jobs ini diperoleh setelah merilis film Toy Story di tahun 1995. Saya masih ingat film ini dulu sangat saya sukai, dan saya rasa kamu juga. Dari sini saya mempelajari bahwa Jobs selalu mencari atau mungkin membuat jalan kesuksesannya sendiri. Tanpa terbayang-bayang masa lalu yang sebenarnya cukup membuatnya stres. Tak hanya itu, Jobs bisa memulai kisah sukses dari bidang yang bukan industri komputer, film animasi.

Di akhir 1996, Jobs berusaha agar Apple mau mengakuisisi NeXT. Dengan dalih bahwa NeXT memiliki sistem operasi yang dibutuhkan Apple, Jobs berhasil menjual NeXT kepada Apple seharga USD 429 Juta.

Poin keempat, sekali lagi Jobs tak berhenti dengan kesuksesan Toy Story. Jobs juga berhasil merubah perusahaan yang tak menguntungkan menjadi modal besar baginya.

Berkat kepiawaiannya, Jobs yang saat itu kembali ke Apple akhirnya menjabat sebagai CEO. Dari tahun 1997, Jobs lantar mengeluarkan produk Apple fenomenal seperti iPod, iMac, iPhone, iPad dan iCloud yang sukses mengantarkan Apple sukses besar, bahkan di bursa saham.

Poin kelima ini, Jobs meraih sukses berkat kerja keras, semangat pantang menyerah dan keinginan untuk menciptakan produk yang mengubah dunia, sesuai dengan visi saat ia mendirikan Apple pertama kali.

Poin keenam,
Jobs harus mengalami masa jayanya itu dengan dihantui kanker pankreas pada Agustus 2004 dan akhirnya harus menjalani operasi. Jobs yang akhirnya dinobatkan sebagai CEO terbaik Amerika, mengalami yang namanya cuti masuk berulang kali akibat kondisi kesehatannya yang kurang baik. Disini, Jobs masih memikirkan dunia dan terus menciptakan produk walau masih dalam kondisi tak sehat.

Poin ketujuh Jobs mengenal dirinya dan berpikir untuk perusahaan. Memilih Tim Cook sebagai CEO Apple berikutnya, Jobs pun mengundurkan diri dari Apple. Dengan alasan kondisi kesehatan yang terus menurun, Jobs resmi mengundurkan diri pada 24 Agustus 2011. Publik pun meragukan warisan Jobs, Apple, yang dianggap kurang berpengaruh tanpa kehadiran Steve Jobs. Meski bursa saham sempat menunjukkan angka penurunan, saham akhirnya pulih bahkan sempat naik.

05 Oktober 2011, Jobs harus pergi meninggalkan dunia yang dicintainya, publik yang mencintainya, perusahaan yang dicintainya dan impiannya yang mungkin masih belum tercapai. Jobs kalah menghadapi kanker pankreas dan penyakit-penyakit lain yang terus mengganggunya selama ini. Publik atau mungkin bisa saya sebut dunia, berduka atas kepergian Steve Jobs.

Steve yang dulunya terkenal pemarah, kini malah dianggap sebagai seorang yang visioner. Dalam keluarga, ia dianggap sebagai ayah yang hangat. Bahkan publik banyak yang mengungkapkan rasa terima kasihnya atas kontribusi Steve Jobs di dunia teknologi, tak terkecuali Mark Zuckerberg sang pendiri Facebook. Jobs seolah menjadi seorang yang berbeda. Ya, dia berubah menjadi orang yang lebih baik.


Tujuh poin diatas, saya merasa termotivasi oleh kisah hidup Steve Jobs. Jobs populer berkat kontribusinya yang sangat terasa. Ia juga pantang menyerah dengan keadaan, selalu berusaha menjadi lebih baik dan memberikan lebih baik. Meski tak semua orang memiliki gadget Apple, saya rasa hampir semua orang tahu apa itu Apple. Karya dan jasanya akan dikenang dalam beberapa generasi mendatang.


Mengenang Steve Jobs ( Co-Founder Apple inc. )


Entrepreneurship, Inspiring Person

Tiga Hal Menggetarkan dari Steve Jobs

Kalau suka menonton film animasi seperti Toy Story, a Bugs Life, Finding Nemo, Monster Inc, dan The Incredible, kemungkinan besar Anda tahu Pixar — perusahaan animasi yang membidani film-film animasi tersebut. Kalau suka dengan dunia desain dan pengguna Mac, Anda pasti kenal Steve Jobs, sang perintis Apple Macintosh, yang kini merajalela dengan iPod-nya.
Steve Jobs merupakan fenomena entrepenuer dunia, yang mengalami perjalanan bisnis dan hidup yang luar biasa. Ia mendirikan Apple Computer, namun kemudian ditendang dari kursi CEO oleh Dewan Direksi. Sungguh pahit rasanya jika kita melahirkan sesuatu kemudian kita dipisahkan darinya. Namun ia bangkit dan membalikkan situasi. Ia membangun NEXT, yang kemudian disusul dengan perusahaan lain yakni Pixar yang melahirkan film animasi komputer pertama di dunia. Ia akhirnya berhasil kembali ke Apple melalui melalui proses akuisisi Apple terhadap Next. Kini, di tangannya kembali, Apple menggegerkan dunia dengan inovasi iPod yang mengalahkan kepoluleran Walkman Sony.
Ketika lahir, ibunya memutuskan untuk menyerahkannya ke orang lain. Ia tak pernah lulus kuliah. Ia pun pernah divonis mati karena kanker pankreas. Namun ia bisa melewati semua itu dengan baik.
(update Kamis, 6 Oktober 2011: kemarin, 5 Oktober 2011, Steve Jobs, kelahiran 24 Februari 1955, akhirnya meninggal karena kanker)
Ketika diundang ke Universitas Stanford, Steve Jobs memberikan pidato yang sangat luar biasa mengenai tiga hal. Dengan bahasa yang indah, lembut, terstruktur, penuh dengan kedalaman filosofi namun mencuatkan semangat hidup, ia menginspirasi banyak mahasiswa di sana.
Saya takut menterjemahkannya dalam bahasa Indonesia karena sangat berpotensi mengerdilkan suasana batin Steve Jobs saat menulis ini.
Berikut ini saya kutipkan penuh pidatonya dua setengah tahun lalu.
Semoga bermanfaat.



Steve Jobs’ Convocation Speech (Stanford)


This is the text of the Commencement address by Steve Jobs, CEO of Apple Computer and of Pixar Animation Studios, delivered on June 12, 2005.
I am honored to be with you today at your commencement from one of the finest universities in the world. I never graduated from college. Truth be told, this is the closest I’ve ever gotten to a college graduation.
Today I want to tell you three stories from my life.
That’s it. No big deal. Just three stories.

The first story is about connecting the dots.

I dropped out of Reed College after the first 6 months, but then stayed around as a drop-in for another 18 months or so before I really quit. So why did I drop out?
It started before I was born. My biological mother was a young, unwed college graduate student, and she decided to put me up for adoption. She felt very strongly that I should be adopted by college graduates, so everything was all set for me to be adopted at birth by a lawyer and his wife. Except that when I popped out they decided at the last minute that they really wanted a girl. So my parents, who were on a waiting list, got a call in the middle of the night asking: “We have an unexpected baby boy; do you want him?” They said: “Of course.” My biological mother later found out that my mother had never graduated from college and that my father had never graduated from high school. She refused to sign the final adoption papers. She only relented a few months later when my parents promised that I would someday go to college.
And 17 years later I did go to college. But I naively chose a college that was almost as expensive as Stanford, and all of my working-class parents’ savings were being spent on my college tuition. After six months, I couldn’t see the value in it. I had no idea what I wanted to do with my life and no idea how college was going to help me figure it out. And here I was spending all of the money my parents had saved their entire life. So I decided to drop out and trust that it would all work out OK. It was pretty scary at the time, but looking back it was one of the best decisions I ever made. The minute I dropped out I could stop taking the required classes that didn’t interest me, and begin dropping in on the ones that looked interesting.
It wasn’t all romantic. I didn’t have a dorm room, so I slept on the floor in friends’ rooms, I returned coke bottles for the 5? deposits to buy food with, and I would walk the 7 miles across town every Sunday night to get one good meal a week at the Hare Krishna temple. I loved it. And much of what I stumbled into by following my curiosity and intuition turned out to be priceless later on. Let me give you one example:
Reed College at that time offered perhaps the best calligraphy instruction in the country. Throughout the campus every poster, every label on every drawer, was beautifully hand calligraphed. Because I had dropped out and didn’t have to take the normal classes, I decided to take a calligraphy class to learn how to do this. I learned about serif and san serif typefaces, about varying the amount of space between different letter combinations, about what makes great typography great. It was beautiful, historical, artistically subtle in a way that science can’t capture, and I found it fascinating.

None of this had even a hope of any practical application in my life. But ten years later, when we were designing the first Macintosh computer, it all came back to me. And we designed it all into the Mac. It was the first computer with beautiful typography. If I had never dropped in on that single course in college, the Mac would have never had multiple typefaces or proportionally spaced fonts. And since Windows just copied the Mac, its likely that no personal computer would have them. If I had never dropped out, I would have never dropped in on this calligraphy class, and personal computers might not have the wonderful typography that they do. Of course it was impossible to connect the dots looking forward when I was in college. But it was very, very clear looking backwards ten years later.
Again, you can’t connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards. So you have to trust that the dots will somehow connect in your future. You have to trust in something – your gut, destiny, life, karma, whatever. This approach has never let me down, and it has made all the difference in my life.

My second story is about love and loss.

I was lucky ? I found what I loved to do early in life. Woz and I started Apple in my parents garage when I was 20. We worked hard, and in 10 years Apple had grown from just the two of us in a garage into a $2 billion company with over 4000 employees. We had just released our finest creation – the Macintosh – a year earlier, and I had just turned 30. And then I got fired. How can you get fired from a company you started? Well, as Apple grew we hired someone who I thought was very talented to run the company with me, and for the first year or so things went well. But then our visions of the future began to diverge and eventually we had a falling out. When we did, our Board of Directors sided with him. So at 30 I was out. And very publicly out. What had been the focus of my entire adult life was gone, and it was devastating.

I really didn’t know what to do for a few months. I felt that I had let the previous generation of entrepreneurs down – that I had dropped the baton as it was being passed to me. I met with David Packard and Bob Noyce and tried to apologize for screwing up so badly. I was a very public failure, and I even thought about running away from the valley. But something slowly began to dawn on me ? I still loved what I did. The turn of events at Apple had not changed that one bit. I had been rejected, but I was still in love. And so I decided to start over.
I didn’t see it then, but it turned out that getting fired from Apple was the best thing that could have ever happened to me. The heaviness of being successful was replaced by the lightness of being a beginner again, less sure about everything. It freed me to enter one of the most creative periods of my life.
During the next five years, I started a company named NeXT, another company named Pixar, and fell in love with an amazing woman who would become my wife. Pixar went on to create the worlds first computer animated feature film, Toy Story, and is now the most successful animation studio in the world. In a remarkable turn of events, Apple bought NeXT, I retuned to Apple, and the technology we developed at NeXT is at the heart of Apple’s current renaissance.
And Laurene and I have a wonderful family together.

I’m pretty sure none of this would have happened if I hadn’t been fired from Apple. It was awful tasting medicine, but I guess the patient needed it. Sometimes life hits you in the head with a brick. Don’t lose faith. I’m convinced that the only thing that kept me going was that I loved what I did. You’ve got to find what you love. And that is as true for your work as it is for your lovers. Your work is going to fill a large part of your life, and the only way to be truly satisfied is to do what you believe is great work. And the only way to do great work is to love what you do. If you haven’t found it yet, keep looking. Don’t settle. As with all matters of the heart, you’ll know when you find it. And, like any great relationship, it just gets better and better as the years roll on. So keep looking until you find it. Don’t settle.

My third story is about death.
When I was 17, I read a quote that went something like: “If you live each day as if it was your last, someday you’ll most certainly be right.” It made an impression on me, and since then, for the past 33 years, I have looked in the mirror every morning and asked myself: “If today were the last day of my life, would I want to do what I am about to do today?” And whenever the answer has been “No” for too many days in a row, I know I need to change something.
Remembering that I’ll be dead soon is the most important tool I’ve ever encountered to help me make the big choices in life. Because almost everything all external expectations, all pride, all fear of embarrassment or failure – these things just fall away in the face of death, leaving only what is truly important. Remembering that you are going to die is the best way I know to avoid the trap of thinking you have something to lose. You are already naked. There is no reason not to follow your heart.
About a year ago I was diagnosed with cancer. I had a scan at 7:30 in the morning, and it clearly showed a tumor on my pancreas. I didn’t even know what a pancreas was. The doctors told me this was almost certainly a type of cancer that is incurable, and that I should expect to live no longer than three to six months. My doctor advised me to go home and get my affairs in order, which is doctor’s code for prepare to die. It means to try to tell your kids everything you thought you’d have the next 10 years to tell them in just a few months. It means to make sure everything is buttoned up so that it will be as easy as possible for your family. It means to say your goodbyes.
I lived with that diagnosis all day. Later that evening I had a biopsy, where they stuck an endoscope down my throat, through my stomach and into my intestines, put a needle into my pancreas and got a few cells from the tumor. I was sedated, but my wife, who was there, told me that when they viewed the cells under a microscope the doctors started crying because it turned out to be a very rare form of pancreatic cancer that is curable with surgery. I had the surgery and I’m fine now.
This was the closest I’ve been to facing death, and I hope its the closest I get for a few more decades. Having lived through it, I can now say this to you with a bit more certainty than when death was a useful but purely intellectual concept:
No one wants to die. Even people who want to go to heaven don’t want to die to get there. And yet death is the destination we all share. No one has ever escaped it. And that is as it should be, because Death is very likely the single best invention of Life. It is Life’s change agent. It clears out the old to make way for the new. Right now the new is you, but someday not too long from now, you will gradually become the old and be cleared away. Sorry to be so dramatic, but it is quite true.
Your time is limited, so don’t waste it living someone else’s life. Don’t be trapped by dogma – which is living with the results of other people’s thinking. Don’t let the noise of other’s opinions drown out your own inner voice. And most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary.
When I was young, there was an amazing publication called The Whole Earth Catalog, which was one of the bibles of my generation. It was created by a fellow named Stewart Brand not far from here in Menlo Park, and he brought it to life with his poetic touch. This was in the late 1960′s, before personal computers and desktop publishing, so it was all made with typewriters, scissors, and polaroid cameras. It was sort of like Google in paperback form, 35 years before Google came along: it was idealistic, and overflowing with neat tools and great notions.
Stewart and his team put out several issues of The Whole Earth Catalog, and then when it had run its course, they put out a final issue. It was the mid-1970s, and I was your age. On the back cover of their final issue was a photograph of an early morning country road, the kind you might find yourself hitchhiking on if you were so adventurous. Beneath it were the words: “Stay Hungry. Stay Foolish.” It was their farewell message as they signed off. Stay Hungry. Stay Foolish. And I have always wished that for myself. And now, as you graduate to begin anew, I wish that for you.
Stay Hungry – Stay Foolish.